Sebagai perbandingan, pikirkan ketika Rosa Park yang berkulit hitam menolak memberikan tempat duduknya di dalam bis pada penumpang kulit putih dalam lingkungan kulit putih yang supremasis. Keluhan-keluhan yang tidak dibuat-buatpun muncul: beranianya dia mengira dirinya sama dengan kita?
Tapi apakah keluhan-keluhan seperti itu sah? Haruskah keluhan-keluhan itu ditampung?
Dalam buku saya, Crucified Again: Exposing Islam’s New War on Christians, saya mendokumentasikan ratusan serangan terhadap kaum Kristen. Dalam kebanyakan kasus, penyerang-penyerang Muslim benar-benar tersinggung.
Sama juga, pada tahun 2011 di Mesir, setelah seorang murid Kristen berumur 17 tahun menolak mematuhi perintah gurunya yang Muslim agar menutupi salibnya, guru tersebut dan beberapa murid Muslim menyerang, memukul dan akhirnya membunuh remaja Kristen itu.
Pembunuh-pembunuh Turki dan Mesir ini benar-benar tersinggung: Pakta dengan jelas menyatakan bahwa umat Kristen dilarang membuat salib atau Alkitab di sekitar kaum Muslim. Beraninya murid Mesir dan penerbit Alkitab Turki ini menolak patuh?
Di Indonesia, dimana sekarang menjadi hampir tidak mungkin bagi umat Kristen untuk membangun gereja, umat Kristen berkumpul untuk merayakan Natal 2012 di tanah kosong dimana mereka berharap akan membangun sebuah gereja – hanya untuk diserang oleh kamu Muslim yang melemparkan kotoran sapi dan kantong-kantong air kencing pada umat Kristen saat mereka berdoa.
Orang-orang Muslim ini juga benar-benar tersinggung: beraninya orang-orang Kristen ini mengira bisa membangun sebuah gereja ketika Paktamelarangnya? (lihat Crucified Again untuk terjemahan baru “Pakta Umar”).
Beberapa minggu lalu di Pakistan, setelah seorang laki-laki Kristen dituduh menghina nabi Islam, Muhammad – sebuah larangan keras lain menurut Pakta Umar – 3000 Muslim membakar habis dua gereja dan 200 rumah umat Kristen. Lihat gambar-gambar ini; tak diragukan, ini adalah orang-orang dengan sebuah “keluhan”.
Baru-baru ini di Pakistan, ketika seorang Muslim menampar seorang Kristen, dan yang terakhir kemudian balas menamparnya, si Muslim berteriak, “Beraninya seorang Kristen menampar saya?” Kekerasan anti Kristenpun dimulai.
Pendeknya, tiap kali umat Kristen berani melewati status “inferior” (rendah) yang ditetapkan oleh Syariah bagi mereka, kaum Muslim yang merasa superior menjadi tersinggung dengan hebatnya.
Dari sini, seseorang dapat mulai memahami keluhan utama kaum Muslim: Israel.
Karena jika kaum Kristen “kafir” dianggap rendah dan diserang oleh kaum Muslim yang tersinggung karena menjalankan hak-hak asasinya yang paling dasar, seperti kebebasan untuk beribadat, bagaimana Muslim harus merasa mengenai Yahudi – keturunan babi dan kera, menurut Al Quran – menjalankan kekuasaan dan wewenangnya atas teman-temannya sesama Muslim di suatu wilayah yang dipandang sebagai tanah milik kaum Muslim?
Beraninya mereka?!
Tentu saja, jika keluhan-keluhan terhadap Israel memang benar-benar mengenai keadilan dan mengenai warga Palestina yang terusir (tergusur), kaum Mulsim – dan orang-orang Barat penyanjung mereka – akan tersinggung oleh fakta bahwa jutaan umat Kristen akhir-akhir ini sedang digusur oleh penyerbu-penyerbu Muslim.
Tak perlu lagi dikatakan, bukan itu.
Jadi, lain kali anda mendengar bahwa kaum kemarahan dan terrorisme Muslim adalah produk dari keluhan, ingatlah bahwa hal ini memang benar. Tapi “keluhan-keluhan” ini tidak didasarkan pada patokan-patokan universal dari kesamaan atau keadilan, tapi pada pandangan dunia yang supremasis.
Leave a Reply