Oleh seorang Pengajar Amerika di Dunia Islam
Beberapa minggu yang lalu, saya menulis sebuah artikel berkenaan dengan pengalaman pribadi yang saya punyai dengan seorang rekan kerja Muslim Sudan yang percaya bahwa istri saya harus dibunuh karena dia seorang yang meninggalkan Islam (murtad). Seorang pembaca, yang telah tinggal di dunia Islam selama 6 tahun terakhir, nampaknya tidak setuju dengan pengeneralisasian saya terhadap kaum Muslim. Menurut pengalamannya, 80% dari mereka hanya “ingin hidup damai, membesarkan anak-anak mereka, dan berbahagia”, sementara 20% sisanya adalah kaum radikal dengan para pengikut zombie mereka yang tak akan segan-segan membunuh seseorang karena “kejahatan” murtad.
Jumlah itu akan nampak masuk akal bagi seseorang yang membatasi diri mereka pada jabat tangan dan senyum sehari-hari teman sejawat mereka yang Muslim. Saya bahkan menyatakan sendiri bahwa kesan pertama saya pada teman-teman kerja Muslim dari Sudan benar-benar sangat positif. Namun demikian, ketika seseorang menggores di bawah permukaan dari senyum-senyum dan jabat tangan-jabat tangan yang ramah itu dan menyampaikan topik mengenai kemurtadan, dia segera menyadari bahwa prosentase-prosentase yang disampaikan di atas harusnya dibalik. Dalam pandangan saya, 80% dari populasi Muslim berkehendak untuk membunuh seorang yang murtad (jika mereka dapat lolos begitu saja) sementara 20% sisanya percaya pada ungkapan, “hidup dan biarkan hidup”. Untuk membuktikan poin saya, saya akan memerinci pengalaman saya itu dan menambahkan cerita dari seorang teman yang juga sebelumnya teman kerja.
Berkenaan dengan pengalaman pribadi saya, masalahnya tidaklah terletak pada “seorang” Muslim yang mengancam akan membunuh istri saya. Dia hanyalah salah satu di antara banyak. Masalahnya pertama-tama terletak pada reaksi (atau ketiadaan aksi) dari guru-guru lain di universitas tersebut. Contohnya, sehari setelah rekan kerja Sudan saya itu menyatakan bahwa istri saya harus dibunuh karena menjadi seorang yang murtad, dia melibatkan rekan-rekannya sesama orang Sudan dengan meneriakkan bahwa mereka semua setuju dengannya, dengan demikian menyebut mereka berpotensi untuk menjadi para pembunuh. Sedihnya, tak satupun dari mereka yang tidak setuju dengannya (di depan umum maupun secara pribadi). Mereka diam dan nampaknya lebih memperhatikan bahwa dia sedang menampakkan sifat alami Islam yang keras dari pada menyebut mereka calon-calon pembunuh.
Kemudian, ketika berita mengenai kejadian ini menyebar ke seluruh fakultas, tak satu pengajar Muslim pun, apakah dia seorang Saudi, Mesir, Yordania, Amerika Utara, Eropa atau muallaf* membela Islam dengan mengatakan bahwa Muslim tidak membunuh orang-orang yang murtad dan bahwa ancaman pembunuhan terhadap istri saya tidaklah pantas dan tidak mewakili Islam. Menurut pandangan saya, kediaman mereka mengenai masalah ini merupakan bukti bahwa sebagian Muslim menangani persoalan kemurtadan dalam cara yang keras (kematian).
Kediaman total staf pengajar Muslim membangkitkan minat teman saya, John. Dia sekarang ingin mengetahui apa sebenarnya yang ada di balik senyum-senyum dan jabat tangan-jabat tangan para laki-laki pecinta keluarga itu. Jadi, setelah kami masing-masing menjalani kehidupan kami sendiri begitu kontrak selesai, John berpura-pura jadi muallaf dan hidup sebagai seorang Muslim sejak saat itu. Setelah berbulan-bulan indoktrinasi, ia sekarang diundang secara teratur ke rumah-rumah rekan sejawatnya yang Muslim, dimana dia mempelajari apa yang rata-rata Muslim pikir mengenai non-Muslim dan orang yang murtad. Inilah poin-poin utama yang dia tulis dalam emailnya yang terbaru:
– Wajah-wajah bahagia yang dipasang kaum Muslim di depan kaum kafir adalah satu kebohongan, dan Muslim didorong untuk berbohong pada non Muslim.
– Dunia Barat dan Kristen itu sakit. Tak seorang Muslim pun dapat merangkul salah satunya tanpa menjadi kafir sendiri.
– Yesus adalah seorang nabi, tapi umat Kristen berhalusinasi karena percaya bahwa ia adalah Anak Tuhan.
– Para siswa diwajibkan untuk menunjukkan rasa jijik dan kebencian mereka terhadap pengajar-pengajar mereka yang Kristen. Mereka mengatakan hal-hal paling kotor sembari tersenyum (hal itu menjelaskan semua senyum yang saya terima ketik siswa-siswa saya bicara bahasa Arab). Inilah jihad anak-anak melawan orang-orang tak beriman.
– Imigrasi Mulsim adalah satu bentuk penaklukan jalur kelima.
– Dan akhirnya, para laki-laki pecinta keluarga ini percaya bahwa orang-orang yang murtad harus dibunuh setelah diberi sedikit waktu untuk kembali pada Islam.
Poin-poin di atas tidaklah diberitahukan pada John oleh beberapa kaum radikal, melainkan oleh mayoritas pengajar dan orang-orang admin tempat dia bekerja. Jadi, sebagai kata-kata kesimpulan, ide bahwa mayoritas Muslim adalah individu-individu cinta damai yang percaya pada mantra “hidup dan biarkan hidup” adalah keliru. Dua contoh yang disampaikan di atas, begitu juga banyak sekali contoh lain yang diberikan oleh Raymond Ibrahim menunjukkan bahwa rata-rata Muslim tak akan punya masalah membunuh seorang murtad jika mereka tahu bahwa mereka bisa lolos begitu saja.
*Saya sungguh-sungguh bertemu banyak sekali muallaf yang bangga telah bergabung dengan sebuah agama yang akan membunuh mereka jika mereka meninggalkannya.
Catatan pengarang: Nama-nama para individu dalam artikel ini telah diubah untuk melindungi mereka dari kemungkinan hal-hal yang tak diinginkan.
Leave a Reply