Diterjemahkan oleh Jacobus E. Lato
Gereja berbentuk salib kuno di Etiopia (Veritas International Enterprise)
Walau ada gereja berbentuk salib kuno, gereja Kristen lain baru saja dihancurkan oleh kaum Muslim di Ethiopia. Kali ini, aksi itu malah dilakukan oleh pihak berwewenang setempat yang seharusnya melindungi sema warga negaranya.
Musibah itu melanda Gereja Cahaya Surya. Gereja yang melayani sekitar 100 umat Kristen evangelis, dihancurkan, 28 Nopember lalu meski sudah berdiri dan beroperasi selama 5 tahun di tengah mayoritas warga Muslim, di kawasan Harat. Pada hari-hari menjelang penghancuran, para pejabat pemerintah memaksa papan penanda luar gereja dipindahkan dan memperingatkan umat gereja untuk tidak bersembahyang di sana, sambil mengutip adanya keluhan warga Muslim setempat. Para pejabat itu lebih jauh memberitahu para anggota gereja yang sebelumnya biasa berkumpul di gereja untuk “tidak berkumpul di reruntuhan bangunan gereja.” Dengan demikian, para penganut Kristen bertemu di rumah umat-umat tertentu.
Ketika sejumlah pemimpin Kristen memprotes sebelum gereja dihancurkan, mereka malah ditahan secara illegal. Mereka baru dilepas hanya setelah anggota komunitas “marah dengan penahanan melawan hukum itu” kemudian menyerukan “pembebasan mereka saat itu juga,” urai International Christian Concern (ICC), sebuah kelompok advokasi pendukung umat Kristen, yang kemudian mengatakan;
Ini bukan insiden yamh terpisah, urai ICC, kemudian menambahkan bahwa lembaga itu sudah mendokumentasikan “sejumlah konflik berkenaan dengan hak atas tanah yang sedang berlangsung antara pihak gereja-gereja dengan pemerintah setempat di seluruh Ethiopia.”
Dalam banyak kasus, urai ICC, “gereja-gereja itu sudah beroperasi secara damai tenang selama beberapa dekade di tanah yang diberikan para anggota gereja yang kini sudah meninggal dunia kepada mereka.”
Menurut para penyelidik ICC […],meski mendapat tanah pembangunan gereja dari umat Kristen yang sudah meninggal, berbagai upaya masih dilakukan penduduk lokal yang mayoritas Muslim untuk “mengurangi kehadiran gereja-gereja secara publik.” Aksi itu berdampak pada penutupan, perusakan serta penghanucuran paksa sejumlah bangunan gereja selama tahun-tahun terakhir,
Manajer Regional ICC untuk Afrika, Cameron Thomas, menuduh Ethiopia melanggar hak-hak asasi umat Kristen. “Para pejabat yang rusak ingin membela agama mereka [Islam] ketimbang membela hukum dan mempertahankannya sesuai sumpah yang telah mereka ikrarkan. Mereka melanggar hak asasi umat Kristen dengan memaksakan penutupan, perusakan dan penghancuran gereja di seluruh Etiopia,” urai seorang pejabat lembaga tersebut.
Jika ini perlakuan yang diterima gereja-gereja Kristen terima dari pejabat dan politisi Muslim – “yang disumpah untuk menjaga” hak-hak asasi setiap warga negara, bukan saja kaum Muslim, maka orang bisa bayangkan perlakuan yang diterima gereja-gereja dari berbagai gerombolan perusuh Muslim. Sebuah contoh mengungkapkan;
Pada 2011, setelah seorang Kristen dituduh melecehkan Al-Qur’an, ribuan umat Kristen dipaksa meninggalkan rumah mereka, ketika “kaum ekstremis Muslim membakar sekitar 50 gereja beserta puluhan rumah-rumah umat Kristen,” di kawasan mayoritas Muslim di barat Etiopia. Sedikitnya satu umat Kristen terbunuh, banyak terluka dan kira-kira 3000 hingga 10.000 umat Kristen kehilangan rumah. Pada waktu nyaris bersama, di kawasan lain yang didiami sekitar 90% Muslim, “semua umat Kristen di kota itu bangun dari tidur malam karena ketakutan setelah menemukan peringatan di pintu-pintu rumah mereka agar menjadi mualaf, memeluk Islam atau meninggalkan kota itu atau siap menghadapi mati.”
Segelintir pengamat Barat yang hidup di luar situasi berdarah ini dan berminat terhadap “gambaran besar” ini, sangat perlu untuk merefleksikan pertanyaan seputar jumlah dalam konteks Etiopia, karena berkaitan dengan dunia yang diwariskan kepada generasi masa datang, Seperti dikatakan Jonathan Racho, seorang pejabat ICC lain sebelumnya, “Benar-benar sangat membingungkan bahwa di Etiopioa pun di mana penganut Kristen merupakan mayoritas, mereka masih menjadi korban penyiksaan atas nama agama.”
Kaum Muslim sebenarnya kelompok minoritas yang damai di Etiopia. Tetapi di kantong-kantong mayoritas Islam, mereka justru menyerang warga Kristen yang sedikit. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa agresi dan sikap pasif kaum Muslim sangat berakar pada jumlah sehingga merefleksikan apa yang saya sebut “Islam’s Rule of Numbers,” (Aturan Islam Soal Jumlah). Aturan itu meyakini bahwa, di mana pun dan kapan pun kelompok Muslim bertumbuh lebih banyak jumlahnya – dan dengan demikian bertumbuh pula kekuatan dan keyakinan diri – maka berbanding lurus pula sikap tidak toleran mereka terhadap “kelompok lain” yang juga sedang tumbuh ( lihat video penjelasan di sini).
Fakta ini sewajarnya memberikan pelajaran kepada Barat, khususnya Negara-negara Eropa dan Inggeris serta Perancis misalnya yang memiliki populasi Muslim yang besar dan masih terus bertumbuh. Karena di sana, serangan atas gereja dan bahkan pemenggalan kepala kerap terjadi.
Sebagai ilustrasi terakhir, pembaca perlu diberi kisah tentang masuknya Islam ke Etiopia, salah satu peradaban Kristen tertua dunia. Menurut tradisi Islam, pada 615, ketika suku Quraish yang kafir menganiaya para pengikut dan murid Nabi Muhammad yang lebih sedikit jumlahnya, beberapa dari mereka melarikan diri mencari suaka atau perlindungan politik ke Etiopia. Raja Etiopia yang Kristen atau “Negus”Etiopia menyambut mereka dengan tangan terbuka dan melindungi para pelarian Muslim itu. Dia bahkan berani mengabaikan tuntutan kaum Quraish untuk mengembalikan mereka untuk dianiaya dan dibunuh. Dan Muhammad dilaporkan sangat berterima kasih atas perlindungai ini.
Kini, 14 abad kemudian, ketika Islam menjadi kelompok kecil solid di Etiopia, yang berjumlah sekitar sepertiga penduduk negeri itu, sikap terima kasih Muslim justru berubah menjadi agresi Muslim. Kenyataan ini setidak-tidaknya merupakan peringatan terhadap Negara-negara Barat.***
Leave a Reply