Oleh: Raymond Ibrahim
Selain memancing keterkejutan, rasa jijik, dan penyangkalan, berita minggu lalu tentang para anggota parlemen Mesir yang mencoba untuk meloloskan sebuah undang-undang “hubungan intim perpisahan” yang melegalkan hubungan sex dengan istri seseorang sampai enam jam setelah dia meninggal belum sepenuhnya diterima.
Untuk memulai, pikirkan sumber utama dari praktek ini: bukan Ikhwanul Muslimin, bukan juga Salafis; melainkan, sebagaimana halnya sebagian besar penyimpangan-penyimpangan Islam – mulai menyusui pria dewasa sampai pernikahan pedofilia – necrophilia Islam bisa dilacak sampai ke sumber dari Islam, nabinya Muhammad, seperti yang terdapat dalam sebuah hadits (atau tradisi) yang berada pada, tidak kurang dari, enam teks referensi klasik Islam (termasuk Kanz al-‘Umal oleh Mutaqi al-Hindi dan Al-Hujja fi Biyan al-Mahujja, sebuah teks otoritatif dalam doktrin Sunni, oleh Abu Qassim al-Asbahani).
Menurut hadits ini, Muhammad menanggalkan bajunya dan meletakkannya pada mayat seorang wanita dan “berbaring dengannya” di liang lahat. Para penggali kubur yang diperintah untuk melanjutkan melempar tanah ke atas tubuh si mayat dan nabi berseru, “Wahai Nabi, kami melihat engkau sedang melakukan sesuatu yang belum pernah engkau lakukan dengan siapapun,” yang dijawab oleh nabi, “Aku memakaikan bajuku padanya agar dia bisa dipakaikan jubah surgawi, dan aku berbaring dengannya di liang lahat agar dia dapat diringankan dari himpitan kubur (juga dikenal sebagai siksa kubur dalam Islam).”
Apa yang sedang dikatakan dan dilakukan Muhammad? Mungkin baju saktinya akan memindahkan mayat wanita itu ke surga, dan tubuhnya yang barokah akan melindunginya dari “himpitan kubur”? Pembacaan yang lebih bersifat sinis – lebih manusiawi – adalah dia menanggalkan bajunya sebagai satu langkah wajar sebelum bersetubuh; bahwa dia secara tepat, kalau tidak secara mencemooh, bermaksud mengatakan bahwa tindakan seksual akan “meringankan” tekanan kematian dari si mayat; dan bahwa orang-orang yang melihat menutupinya dengan tanah adalah untuk kerahasiaan dan/atau rasa malu.
Penafsiran ini diberi jauh lebih banyak bobot ketika seseorang mempertimbangkan bahwa arti sekunder dari kata yang saya terjemahkan di atas sebagai “berbaring dengan” adalah “berhubungan intim”, lebih jauh menunjukkan bahwa undang-undang Mesir yang diajukan tersebut, pada kenyataannya, adalah berdasarkan hadits ini: bagaimanapun akar kata bahasa Arab yang digunakan untuk “berhubungan intim” dalam frasa “hubungan intim perpisahan” berasal dari akar kata yang sama yang digunakan Muhammad untuk menerangkan apa yang dia lalukan dengan si mayat wanita (d-j-‘). Seolah-olah hal ini tidak cukup, necrophilia mendapatkan banyak pengesahan dalam teks-teks hukum Islam. Contohnya, menurut Hawasyi-nya al-Syarwani, “tidak ada hukuman untuk berhubungan intim dengan mayat” dan “tidak perlu memandikan ulang si mayat setelah penetrasi (penembusan).”
Secara kebetulan, issue mengenai “sex-kematian” ini jauh mendahului anggota parlemen Mesir. Sebenarnya, saya pertama kali menulis mengenai topik yang mengerikan ini di tahun 2009 yang lalu, berdasarkan satu episode dari Pendeta Zakaria Botros, dimana dia menyelidiki kebiasaan seksual yang menyimpang dari nabi Islam Muhammad (lihat disini). Menariknya, ketika episode itu pertama kali ditayangkan, banyak Muslim gusar dan menyangkal keberadaan hadits itu dan mengulangi telepon untuk membunuh si pendeta karena “mencemarkan” Islam: namun disini, sekali lagi – hanya saja kali ini, hadits ini sedang dimasukkan ke dalam sebuah “undang-undang”, mendokumentasikan lebih jauh keberadaan, jika tidak keabsahan, necrophilia dalam Islam.
Yang mengarah pada hal lain yang membuka mata: ini bukan lagi ulama radical ini atau itu, tapi para anggota parlemen yang, tidak semata-mata tengah mengakui keanehan-keanehan praktek-praktek Islam, tapi tengah berusaha untuk melaksanakannya sebagai “hukum”. (Mungkin hal ini seharusnya tidak mengejutkan kalau kita mempertimbangkan beberapa minggu sebelumnya di Mesir, para pengacara Muslim yang berjas dan berdasi di pengadilan menyerang dengan pisau seorang terdakwa Kristen karena dianggap menghujat Muhammad.)
Apalagi yang dipunyai para “anggota parlemen” dan “para pengacara” dalam persediaan bagi Mesir dan tetangga-tetangganya? Jika hal ini tak banyak diketahui, praktek-praktek menjijikan sedang disahkan hanya karena sebuah hadits rahasia, berapa banyak lagi dukungan yang harus diberikan oleh parlemen Mesir yang didominasi oleh kaum Islamis pada ajaran-ajaran lain Islam yang sulit diubah? – contohnya, perintah-perintah tegas Muhammad, yang tercatat dalam ratusan hadits yang diterima, untuk berperang, untuk menipu, dan menundukkan semua kaum kafir non Muslim?
Ketika sampai pada Islam, ini saat yang tepat bagi Barat untuk mencari hubungan dari setiap peristiwa untuk memperoleh gambaran yang jelas.
Leave a Reply